Sekilas Sejarah Batik Nusantara
Siapa yang
tidak cinta dengan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh
UNESCO ini?, Penulis tebak pasti anda semua cinta batik,kan?
Penulis cinta batik karena ukiran dan seninya itu loh.. luar biasa! ukiran
tangan yang dibuat oleh para pengrajin batik yang memiliki daya kreatifitas
yang tinggi, yang tidak semua orang bisa.
Tapi dibalik
itu semua, tahu gak sih sejarah batik nusantara itu tercipta sejak
kapan?, Mengaku cinta batik tapi tidak tahu sejarah batik nusantara tentu bikin
kita malu,kan?, Untuk itu penulis ingin menuangkan ide untuk membahas sekilas
sejarah batik nusantara untuk anda semua yang cinta batik.
Baiklah.. siapkan catatan kecil,ya untuk menulis ringkasan sejarah batik
nusatara ini.
Sejarah batik nusantara ini sudah tercipta sebelum ada kata 'INDONESIA'.
Budaya teknik cetak batik tutup celup dengan menggunakan malam dari sarang
lebah diatas kain sebenarnya tidak eksklusif terdapat di Indonesia, tetapi
justru melanglang buana dari mesir hingga kawasan Timur Tengah lainnya.
Teknik tersebut juga dapat dijumpai di Turki, India, China, Jepang dan Afrika.
Akan tetapi tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang mengembangkan teknologi motif batik yang
sedemikian kompleks dan kaya seperti di Indonesia khususnya di Jawa.
Teori
mengenai batik ini telah
menjadi perbincangan yang cukup booming. Salah satunya dengan salah seorang
ilmuwan Belanda yang meneliti soal batik ini, yakni G.P. Rouffaer telah
mengatakan bahwa teknik ini dibawa pertama kali dari daerah India Selatan. lain
pendapat dengan J.L.A Brandes yang mengatakan bahwa sebenarnya sebelum ada
pengaruh India datang ke Indonesia, Nusantara telah memiliki 10 unsur
kebudayaan asli yaitu, wayang, gamelan, puisi, pengecoran logam mata uang,
pelayaran, ilmu falak, budidaya padi, irigasi, pemerintahan, serta batik.
Sehigga teori-teori tersebut menolak mentah-mentah bahwa batik berasal dari
India Selatan.
Orang boleh saja berpendapat kok bahkan ada juga yang berpendapat lain mengenai
sejarah batik nusantara ini, yakni sejarah batik di Indonesia tumbuh dan
berkembang semenjak adanya impor kain tenun dari India pada abad ke-17. Kain
Eropa juga masuk ke Indonesia pada awal tahun 1815. Tetapi teori ini tetap saja
ditepis selang bergulirnya waktu. Jika kita mereview ulang mengenai motif-motif
serupa motif batik sudah kita temukan di beberapa ukiran-ukiran yang ada pada
relief-relief candi Prambanan dan juga Candi Borobudur. Artinya,
bangunan-bangunan yang sudah berdiri semenjak abad ke-8 ini sudah mempengaruhi
motif batik yang ada hingga sekarang.
Beberapa sejarah yang telah ditinjau dan diterbitkan oleh salah seorang yang
bernama Bataviaasche Genootchap Van Kunsten Wetwnschapen tahun 1912 dan bernama
kitab Centini menyebutkan, pada jaman Pakubuwono V, sudah ada istilah batik dan
pada waktu itu sudah terdapat motif-motif halus seperti gringsing, kawung,
parang rusak dan lain-lain.
Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa canting sudah digunakan pada saat itu.
Dalam kesusastraan kuno dan pertengahan, sempat ditemukan pembahasan soal
nyerat atau nitik yang diduga merupakan teknik menghias kain menggunakan malam.
Kemudian, setelah keraton Kartasuro pindah ke Surakarta, muncullah istilah
Batik dari Jarwo Dosok. Kata ini berasal dari gabungan kata “ngembat” dan
“titik” yang berarti membuat titik.
Dari semua hal yang telah ditinjau, maka literatur ini cukup terlihat bahwa
teknik merintang warna dengan menggunakan malam ini memang sangat berkembang
dan maju di tanah Jawa, terutama Jawa Tengah. Perkara kemudian seluruh daerah
di Nusantara memiliki batik sudah jelas akibat proses bergeraknya manusia dan
bergeraknya kebudayaan yang ada bersama manusia-manusia tersebut.
Mulailah mengalami perkembangan yang cukup pesat melalui teknik- teknik
tersebut karena seiring teknik tersebut telah mengikuti proses asimilasi budaya
orang-orangnya. Dan inilah yang kemudian membuat batik menjadi begitu kaya dan
beragam.
Dari timur ke barat, dari utara ke selatan, hampir semua daerah yang ada di
pulau Jawa memiliki ukiran motif batik yang sebagai salah satu ciri khas
sendiri-sendiri. Bicara batik Jogja dan Solo, maka kita akan bicara
sedikit tentang sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebuah buntut dari kedigdayaan
kerajaan Nusantara yang begitu berjaya pada masanya.
Melalui proses yang sangat pelik dan melibatkan ratusan kali pemberontakan
akhirnya kerajaaan Mataram Islam dipecah menjadi dua melalui perjanjian Giyanti
pada 13 Februari 1755.
Perjanjian yang sedikit banyak melibatkan campur tangan VOC ini, membagi
wilayah Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Dimana Pakubuwono III menjadi rajanya dan Pangeran Mangkubumi menjadi Raja di
wilayah yang baru dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Intinya, pemisahan wilayah ini, kemudian membuat berbagai macam perubahan dalam
budaya di kedua wilayah tersebut.
Kasunanan Surakarta, yang merupakan awal dari kerajaan Mataram Islam
mempertahankan semua jenis kebudayaan yang mereka miliki. Mulai dari ritual,
tarian sampai ke batik. Sedangkan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat
cenderung membuat berbagai macam tradisi baru, namun tetap berakar pada tradisi
kerajaan Mataram Islam. Termasuk juga kain batiknya.
Jika kita simpulkan sedikita banyaknya antara Kasunanan Surakarta dengan
Kesultanan Ngayogyakarta bahwa budaya pada Kasunanan Surakarta lebih
konvensional dibandingkan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang cenderung
progresif. Ini terlihat misalnya pada tarian di Yogyakarta yang lebih dinamis,
dibandingkan posisi berdiri yang lebih tegak dibandingkan Surakarta.
Untuk batik, Sultan Hamengkubuwono I dari Yogya, memilih latar putih sebagai
warna dasar kain batiknya. Sedangkan Susuhunan Pakubuwono III dari Kasunanan
Surakarta/ Solo tetap memilih latar sogan dan cenderung gelap untuk kain
batiknya.
Warna putih
adalah warna dominan yang dapat kita lihat pada kain batik Yogya. Warna sogan
cokelat kuning keemasan adalah warna dominan batik Solo.
Apabila batik Yogya tampil dalam warna gelap, maka warna gelap kebiruanlah yang
akan dominan terlihat pada kain batiknya. Sedangkan Batik Solo akan tampil
dalam warna hitam kecokelatan ketika tampil dalam warna gelap. Ini muncul
sebagai akibat dari proses pencelupan warna biru berkali-kali yang didapatkan
dari tanaman indigo.
Sedangkan warna hitam kecokelatan yang terdapat pada batik Solo merupakan hasil
pencelupan berkali-kali warna cokelat sogan.
Ini adalah hal paling mendasar yang membedakan batik Yogya dan Solo. Warna
sogan atau kuning cokelat keemasan tetap menjadi warna khas kedua batik ini.
Beberapa perbedaan juga terlihat bagaimana perajin batik Yogya dan Solo dalam
memprodo — hiasan emas pada motif — batik mereka.
Membubuhkan prodo gaya Solo berbeda dengan gaya Yogya. Pada gaya Solo, yang
dibubuhi prodo hanyalah garis luar (outline) corak dan sebagian isen-isennya.
Sedangkan gaya Yogya, hampir seluruh corak dan isennya dilapisi prodo. Kesan
yang ditampilkan pada prodo gaya Solo adalah lebih tenang dan anggun, sedangkan
pada gaya Yogya lebih gagah dan menonjol.
Keduanya sama-sama indah kok. Karena batik sendiri merupakan karya seni yang
mewakili jiwa seseorang yang memakainya. dan juga karakter serta watak
pemakainya. Jadi, manakah yang anda suka?